Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Maret, 2009

Sandiwara dalam Demokrasi

(Tanggapan terhadap artikel kompas)

Oleh: Megantara Vilanda


Sudah sampai hari ke tujuh, Kampanye terbuka telah berjalan. Para parpol dengan calegnya mulai bergerak secara besar-besaran untuk meyuarakan janjinya dengan terbuka. Banyak dari mereka yang enteng mengumbar janji, tetapi belum yakin apakah dapat merealisasikan janjinya setelah terpilih nanti. Dan demi terdengarnya janji abstraknya tersebut, para caleg rela mengeluarkan gocek jutaan rupiah agar bisa mendatangkan masa yang mau berduyun-duyun mendengar orasinya.

Kenyataannya, kampanye yang berlangsung sampai saat ini, mayoritas memang masih belum menyentuh permasalahan dan kebutuhan masyarakat serta cenderung bersifat hiburan semata.(Jawa Pos, 23/03/09). Seperti ucapan Haryatmoko, ahli etika UGM, yang dikutip oleh harian Kompas, “ Kampanye terbuka selama sepekan ini sama sekali tidak menunjukan kejelasan program yang diusung caleg dan parpol”. Walaupun hal ini tidak terjadi pada semua parpol, tetapi mayoritas memang seperti itu.

Opini

Hal ini wajar terjadi di sebuah negara yang mayoritas warganya berintelektual rendah seperti Indonesia ini. Dimana penyelenggaraan hiburan itu lebih dapat mengundang warga banyak, ketimbang penyelenggaraan orasi ilmiah. Pendidikan yang rendah dan Sistem Pendidikan yang salah adalah faktor terciptanya kebodohan masyarakat tersebut. Kemudian para parpol dan caleg memanfaatkan kebodohan warga negara kita ini dengan menyelenggarakan hiburan seperti dangdut dalam kampanyenya. Komoditas dangdut dipilih memang secara fakta merupakan hiburan yang paling digemari oleh masyarakat kita. Dan alhasil, masyarakat berduyun-duyun datang bukan karena ingin mendengarkan orasi politik sang caleg, tetapi untuk menonton hiburan dangdut beserta penyanyinya yang bergoyang dengan gerakan yang menggoda birahi.

Kampanye sepekan ini memang tidak menunjukan kejelasan program, karena memang para caleg atau parpol mayoritas tidak memiliki program yang jelas untuk menyelesaikan masalah bangsa. Para caleg mayoritas adalah orang yang belum ahli dibidang politik. Hal ini nampak pada saat program uji caleg yang banyak diselenggarakan oleh stasiun-stasiun TV nasional maupun lokal kita. Apalagi, ada parpol yang memajukan artis sebagai calegnya. Akan menjadi sebuah penghinaan bagi negara ini, jika orang yang lebih sering bersandiwara di layar televisi menduduki posisi penting yang akan mempengaruhi nasib bangsa. Memang jumlah caleg yang berlatar belakang artis tidak banyak, tetapi yang berlatar belakang non-politik juga banyak. Sehingga wajar, jika caleg-caleg yang belum berkompeten itu tidak bisa berucap apa-apa tentang program kebangsaan, yang mampu ia ucapkan hanyalah seputar janji-janji abstrak saja.

Dalam demokrasi yang terpenting untuk menjadi caleg adalah bukan kompetensi, tetapi popularitas dan keberanian untuk maju. Karena, logika yang dipakai adalah banyak-banyakan. Barangsiapa yang paling populer, maka ia lah yang akan mendapat banyak dukungan. Oleh karena itu, wajar jika para parpol dan caleg bersedia melakukan apapun demi mendapatkan popularitas.

Inilah panggung Demokrasi yang penuh dengan sandiwara. Memang dari akarnya, Demokrasi adalah sistem yang utopis. Penuh dengan kebohongan dan mendorong orang untuk melakukan banyak kebohongan. Dalam prakteknya contohnya, ketika proses pembuatan undang-undang, keadaan masyarakat bukanlah pertimbangan utamanya, tetapi pihak asing atau swasta lah yang selalu intervensi secara halus demi terpenuhinya kebutuhan perut-perut wakil rakyat tersebut. Buktinya, telah keluarlah UU SDA, UU BHP, UU Mineral, yang syarat dengan kepentingan asing, bukan kepentingan rakyat. Karena seringnya keluar UU yang merugikan rakyat tersebut, maka wajar jika banyak kebijakan pemerintah yang malah ditentang rakyat.

Tetapi masyarakat Indonesia mayoritas masih berintelektual rendah, sehingga kesadaran masyarakat untuk segera membuka mata akan sandiwara yang terjadi di negara ini memang masih sulit terbentuk.(Megantara)

Read Full Post »